Pada awalnya semuanya kayaknya berjalan oke oke saja.Sejak resepsi perkawinan Adi itu, johan sudah setengah lupa sebenarnya. Barangkali juga berusaha untuk melupakan peristiwa baku bidik itu. Johan takut kecewa kalau terlalu banyak berharap, bagaimana mungkin cewek secakep itu....
Tapi justru Adi yang memulai membuka front, memancing-mancing Johan.
“Kamu ditanyakan Wiwied Jo, ..” Adi s ipengantin baru yang untuk sementara masih menumpang dirumah mertua itu menggoda Johan saat mereka bertemu ketika herresgristasi.
“Cuma tanya?”
“Ya, titip salam juga, sih.”
“Salam saja, pakai lengkuas nggak?”
“Welha, kok malah cengengesan. Ini serius lho Jo..!” Adi, senior Johan di Fisip itu tersenyum mendengan canda Johan. Pura-pura nggak minat nih yee ?!.
“Lho, biasanya kan begitu, kalau ada daun salam pasti ada lengkuas” Johan masih pura-pura saja.
“Sialan, kamu. Emangnya mau bikin sayur lodeh? Sudahlah jangan banyak omong. Kalau memang berani serang saja. Siapa tahu kamu bisa mengikuti jejak suksesku”.
“Sukses ?. memacari anak ibu kost biar dapat gratisan sewa kamar kau sebut sebuah sukses?. Amit amit nggak janji ,deh.”. Sambil menjulurkan lidahnya Johan berlari meninggalkan Adi, Untung tadi dia cepat cepat menyingkir.Kalau tidak, bisa-bisa digebuk dengan diktat yang segede bantal bayi itu.
Johan duduk dengan gelisah disudut ruang tamu “Asrama Putri” tempat Wiedya kost yang kebetulan sore itu lagi sepi. Barangkali ada semacam kesepakatan tidak tertulis, bila salah seorang penghuninya menerima tamu istimewa maka penghuni lainnya akan menyingkir. Atau pura-pura sibuk belajar dikamar kos masing-masing. Suatu kekompakan yang patut diacungi jempol.
“Hai, kok melamun.. hati-hati ayam tetangga kemarin bengong terus mati lho..” Wiedya menghampiri membuyarakan lamunan Johan. Secangkir teh manis dan sekaleng wafer diletakkan diatas meja.
“Waduh maaf ya.. masih berantakan semua.” Wiedya memunguti kertas-kertas yang bersrakan dimeja tamu.
“Nggak apa-apa, tempat kost ku malah lebih ancur-ancuran. Persis kapal pecah”. Johan basi-basi membesarkan hati tuan rumah. Sebuah taktik kuno memang , tapi barangkali masih cukup ampuh untuk dicoba. “ Lagi sibuk bikin paper ya ?”.
“Bukan, Aji, kemarin minta tolong untuk menterjemahkan literatur”.
“Aji ? Aji yang mana, ya?”. Johan tiak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.
“Anak pertanian itu lho, kamu juga yang ngenalin”.
My God !. semoga anak itu menjadi “The Other Boy”. Bisa gawat urusannya. Belum belum pikiran Johan sudah mereka-reka.
“Bagaiman semester kemarin, bagus kan hasilnya?”. Wiedya mengalihkan pembicaraan. Tahukah dia kegelisahan ini?. Mudah-mudahan tidak, bisa ge er nanti!. Johan kebat kebit
“Lumayan ada beberapa mata kuliah yang harus mengulang, tapi ada beberapa yang nilainya bagus, jadi IP nya ya cukupan. Kamu bagaimana?”
“Lumayan juga”. Jawab Wiedya singkat. Cwek cakep mahasiswi sastra Inggris itu rupanya juga kejangkitan penyakit ‘mati angin’, kehabisan bahan obrolan.
Sekuat tenaga Johan berusaha meredam gejolak aneh yang menggelegak didadanya. Lho, belum-belum kok sudah cemburu?. Siapa yang menyuruhmy terjun dalam persaingan ‘maut’ memperebutkan hati sang putri ini?. Suara-suara saling meningkahi didalam hati Johan.
Sedangkan ‘sang putri’ itu sendiri juga sedang sibuk dengan kegelisahannya sendiri. Anak ini kelihataannya baik. Widya membatin. Meskipun sepintas kelihatannya srudak-sruduk – ini terlihat dari surat-suratnya yang bertubi-tubi kemarin, padahal sipenulis surat itu sendiri baru memperlihatkan batang hidungnya kali ini. Apakah karena terlalu pemalu?. Atau sekedar strateginya untuk mempermaklumkan kedatanggannya, bisar aku bisa mempersiapkan segala sesuatunya sebaik-baiknya?.
“Anu, Wied, maksud kedatnganku kemari, selain untuk berkenalan dan bersilaturrohmi juga mau.....”
“Waduh, kok demikian resminya. Kayak pidatonya bapak-bapak pejabat saja!”Wiedya memotong.
“Iya, ya.. Aku kok jadi bego begini. Maksudku aku ingin memberikan foto-foto yang kuambil saat ngantenan mas Adi dulu. Kat mas Adi kamu menanyakan. Sori belum sempat dikasih pigura”. Johan mengangsurkan amplop besar. Dengan senyum terkembang wiedya membukanya dan mengagumi gambar dirinya dalam ukuran 10 R itu.
“Bagus sekali. Thanks berat ya?!”.
Johan hanya tersenyum tipis. Satu episode sudah berjalan mulus. Semoga untuk selanjutnya semuanya lancar. Johan diam-diam menjalin harap dan doa.
(to be or not to be continued, its depend on.... )
2 komentar:
ceritanya menarik mas, pengalaman pribadi yah...?
di tunggu lanjutannya.
no comment ha ha ha
Posting Komentar