Rabu, 17 September 2008

AGUS "BODONG" CONDRO

Ada dua orang Agus yang memberiku pelajaran hidup yang luar biasa.. Agus yang pertama adalah teman kostku.

Flashback ke tahun 80 an, si Agus yang ngaku nya dari Jakarta ini sempat mau terlibat kontak fisik danganku (malu-maluan ya?).

Entah karena apa tiba-tiba saja kami sudah bersitegang sementara teman-teman kost mayoritas mendukungku. Maklumlah teman teman rada kurang respek sama si betawi ini karena “kecerdikan” nya.

Dulu kami menyewa satu rumah dan hire seorang Bibi untuk memasak (ceritanya mo ngirit nih) Nah si Agus ini ga mau gabung maunya, dia bayar sewa kamar aja. Tapi tiap pagi dia numpang bikin kopi dan kadang-kadang menguras termos kami. Belum lagi kalau tengah malam kami mengadakan “Nasgor Party”, sering ga tega menjadikannya penonton. Alhasil kamipun lalu menyisihkan bebrapa sendok jatah kami masing-masing untuk dia.

Mungkin capek diledeki teman-teman, pada suatu hari emosinya meletup. Saya yang paling vokal jadi sasaran .Ditantangin berantem. Untunglah belum sempat adu fisik. Semalaman aku ga bisa tidur .Ngapain sih, ?ga penting banget dech kaya gali aja (bahasa solo untuk preman).

Tapi alhamdulillah keesokan harinya si Agus mendatangi kami yang sedang kongkow nonton tv. Dia menyalamiku dan minta maaf. Luar biasa! Sambil merangkulnya aku bilang pada teman-teman : “ Dia lebih hebat dibanding kita semua !!”.

Nah si Agus yang kedua ini kita semua sudah tahu…orangnya supel mudah bergaul. Pertemuan kami yang pertama aku masih ingat betul. Waktu itu kuliah di kampus Pabelan. Di ruang aula itu Agus yang duduk disebelahku mengulurkan tangannya ngajak kenalan : “ Kenalkan aku Agus condro”.

Selanjutnya tidak ada yang istimewa, sejatinya kami memang tidak begitu akrab. Dia aktifis dan sempat duduk di kepengurusan DPC sebuah ormas kemahasiswaan, sedangkan aku mahasiswa biasa saja yang bahkan teman seangkatanpun banyak yang ga kenal.

Ujug ujug saja dia sudah bertengger di puncak kariir politiknya sebagai anggota dewan. Wah, bodong dadi anggota dewan, gumamku sambil nonton siaran langsung tv yang meliput pemilihan presiden. Terlihat dengan bodi yang sudah mulai gendut dengan setelan jas mahal teman seangkatanku itu berjalan menuju meja pemungutan suara. Sayang jagonya (atau babon) waktu itu (Megawati) kalah telak dalam pemungutan suara ( konon sampai nangis tersedu-sedu, tapi itu ga penting ya..).

Oya, soal nickname ‘bodong’ itu tentu saja kami teman-temannya tidak pernah men check dan recheck. Betul apa nggak ya wallahu a’lam. Tapi nampaknya dia nyaman saja dengan panggilan itu. Alhasil jadilah panggilan “sayang” kami untuknya.

Kini si “bodong” ini sedang jadi sorotan. Kenekatannya untuk wadul ke KPK merepotkan banyak orang termasuk (tentu saja) kolega dan petinggi partai tempatnya bernaung. Ada komentar minor bahwa apa yang dilakukannya karena menyadari tidak akan bisa menghindar dari jerat hukum . Lebih baik ngaku sekarang daripada akhirnya juga ketangkep Selama ini rekor KPK kan 100% , artinya setiap koruptor yang ditangkap KPK belum ada yang lolos.

Kalau aku sih, melihatnya dari sisi positif aja. Bahwa ada orang menyadari kesalahannya lalu bertobat, itulah memang yang seharusnya. Kita tidak berhak menjudge orang lain. Kita hanya bisa melihat yang lahir, permukaan saja. Urusan hati, niat, itu hanya Allah dan ybs saja yang tahu. Lagian aku juga percaya ama testemoni Prof. Mahfudz MD, bahwa koleganya itu sudah sekian lama gelisah dan menyadari kesalahannya dan terus mencari saat yang tepat untuk menggembalikan gratifikasi yang panas tersebut. “Bagaimana saya bisa menyuruh orang jadi baik kalau tidak memulai dari diri sendiri. Prof.” demikian konon bunyi SMS si “Bodong” pada pakar hukum tsb.

Suatu keberanian yang luar biasa, untuk menjadi baik dan mengajak orang lain jadi baik dia rela kehilangan pencapaian duniawinya selama ini. Lebih luar biasa lagi kalau kita tahu bahwa si “bodong” ini dulunya adalah seorang “penakut”., jatuh cinta pada teman sekampus aja tidak berani ngomong.

Keep fighting bos!!.